Mempelajari Agama Sebagai Ilmu Pengetahuan

Agama Sebagai Ilmu

Modernis.co, Palembang – Agama sejak dahulu hingga sekarang masih menjadi komoditas utama yang menarik untuk diperbincangkan. Bukan hanya soal suasana magisnya, melainkan juga karena manusia sendiri tidak bisa dilepaskan dari pergumulannya dengan agama. Karena, pada hakikatnya fungsi agama dalam kehidupan manusia adalah untuk menuntunnya agar tetap berada dijalan yang benar.


Agama dan manusia itu layaknya dua sisi mata uang logam, tidak bisa dipisahkan dan saling melengkapi. Meskipun terkadang keduanya sering bertabrakan dalam sudut pandang melihat kehidupan dunia. Namun sejatinya di setiap fase sejarah kehidupan manusia selalu berkaitan erat dengan agama.


Pengertian agama secara sederhana dipahami bahwa kata agama berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu a “tidak” dan gama “kacau”. Maka dari itu, agama menjadi pedoman bagi manusia agar kehidupan yang dijalaninya tidak mengalami kekacauan. Orientasi seperti ini bisa didapati dalam setiap agama yang hadir di planet bumi ini, baik agama monoteisme maupun agama politeisme.


Pada agama tersebut tidak ditemukan satu ajaran pun yang mengajarkan pengikutnya lantaran untuk berbuat kerusakan, berbuat kezhaliman, dan tidak juga mengajarkan untuk berbuat kekacauan di muka bumi ini. Setidaknya itulah ajarannya, namun dalam konteks penafsiran dan pengejewantahannya oleh manusia kerap berbeda-beda.
Lantas, bagaimana cara manusia mempelajari agama sebagai ilmu pengetahuan? Menurut Dr. Damami Zein, anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah juga dosen Universitas Ahmad Dahlan, mengatakan bahwa ada tiga tahapan untuk mempelajari agama sebagai ilmu pengetahuan.


Tahapan pertama, yakni memahami sejarah agama-agama. Sejarah masing-masing agama harus dipelajari, minimal pernah tahu dari literatur yang pernah dibacanya. Dengan mengetahui sejarah agama, maka asal usul agama juga bisa diketahui. Banyak yang mengatakan bahwa asal usul manusia beragama adalah karena ketakutan atau ketidakberdayaan manusia dan kenestapaannya untuk menghadapi kekuatan diluar kemampuannya. Sehingga manusia memerlukan sesuatu sebagai perlindungan.


Perlindungan ini dimanifestasikan dalam bentuk penyembahan kepada benda yang dianggap mempunyai kekuatan magis seperti batu, pohon, hewan-hewan, gunung, roh-roh nenek moyangnya, dan lain sebagainya. Maka timbullah agama animisme dan dinamisme. Dari situ kemudian berubah menjadi politeisme hingga yang terakhir menjadi monotesime.


Tahapan kedua, yakni membandingkan antara satu agama dengan agama yang lain. Tahapan ini sering memicu konflik antar umat beragama. Terlebih lagi jika ini disampaikan di ruang publik. Sudah bisa dipastikan kekacauan akan menjadi hal tabu bagi umat beragama. Karena arah dari perbandingannya bukan “mana hal yang sama atau mana hal yang berbeda”, tapi mengarah kepada “mana agama yang salah sesuai versi masing-masing agamanya.


Tentu ini tidak baik jika diterapkan, apalagi untuk dilestarikan. Mengingat iklim keberagamaan di Indonesia yang cenderung rentan terhadap konflik dikarenakan banyak perbedaan yang ada. Adapun yang dimaksud dengan membandingkan agama satu dengan agama lainnya itu adalah mengklasifikasikan mana yang sama dan mana yang berbeda. Misalnya, konsep ketuhanan antara agama Islam dan agama Zoroaster, konsep pengampunan dosa antara agama Kristen dan agama Hindu, dan lain-lainnya. Sehingga bisa diketahui benang merah atau titik temu dari hal-hal yang menjadi kesamaan dan perbedaan masing-masing agama.


Tahapan ketiga, yakni studi lintas iman atau dengan kata lainnya adalah pluralisme agama. Pluralisme agama ini adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu setiap penganut agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.


Pluralisme juga memiliki makna kebenaran itu tidak tunggal, tapi banyak. Konsep pluralisme agama ini masih sangat ditentang jika berada di Indonesia, terlebih jika itu dikaitkan dengan nama agama. Hal ini juga berguna untuk mengurai fanatisme masing-masing penganut agama. Sehingga memiliki persepsi bahwa kebenaran itu ada pada masing-masing agama yang dianutnya cukup diperlukan.


Mengingat penganut agama dan kepercayaan di negeri ini jumlahnya tidak sedikit. Ya anggap saja sebagai ikhtiar menjaga integrasi Indonesia, juga sebagai wujud menghormati dan penghargaan bagi penganut agama lainnya.
Ketiga tahapan di atas sejatinya saling berurutan. Mempelajari terlebih dahulu sejarah dan asal usul agama, kemudian membandingkannya, dan terakhir memiliki pandangan bahwa masing-masing agama membawa sekaligus menuju kebenarannya masing-masing. Dan terpenting keberagaman agama merupakan anugerah terindah bagi Indonesia.

Oleh : Abimanyu Tri Wardana (PC IMM Palembang)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment